Metodologi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah
yang ditempuh agar pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah.
Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah
penalaran yang tepat. Jika kita membicarakan metodologi maka hal yang tak kalah
pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan
dalam aktivitas ilmiah. Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap
yang akan dikembangkan para ilmuwan maupun peneliti di dalam kegiatan ilmiah
mereka.
1.
Rene Descartes
Descartes
adalah putra seorang ahli hukum. Ia lahir di La Haye Perancis pada tanggal 31
Maret 1596 dan meninggal di Stockholm Swedia pada tanggal 11 Februari 1650 pada
umur 53 tahun. Ia juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur
berbahasa Latin yang artinya seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Ayahnya
mengirim dia ke sekolah pada umur delapan tahun. Ia bersekolah di Jesuit
College of La Fleche antara tahun 1606 dan 1614. Karena kesehatannya yang
kurang baik, Descartes diizinkan menghabiskan waktu paginya belajar di tempat
tidur, suatu kebiasaan yang dipandangnya berguna sehingga dilanjutkannya
sepanjang hidupnya.
Pada umur
20 tahun ia mendapat gelar sarjana hukum dan juga sebagai ahli matematika.
Kemudian selanjutnya menjalani kehidupan seorang yang terhormat, menjalani
dinas militer beberapa tahun, lalu tinggal beberapa waktu di Paris, kemudian di
Belanda. Dia bergabung dengan paduan suara para filsuf abad 17 termasuk Bacon,
Hobbes dan Locke. Pada 1618 dia pergi ke Holland (Belanda) untuk melayani
tentara angkatan darat Prince Maurice of Nassau, saat dalam perjalanan ke
Jerman bersama para tentara angkatan darat itu. Pada malam 10 November, dia
mengalami serangkaian mimpi yang dia artikan sebagai tanda-tanda bahwa dia akan
menemukan suatu ilmu yang universal (a universal science). Selanjutnya
ia pergi ke Swedia diundang untuk mengajari Ratu Christina dimana ia meninggal
karena pneumonia pada tahun 1650.
Descartes
meneliti suatu metode berpikir yang umum yang akan memberikan pertalian dan
pengetahuan dan menuju kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penelitian itu mengantarnya
ke matematika, yang ia simpulkan sebagai sarana pengembangan kebenaran di
segala bidang. Karya matematikanya yang paling berpengaruh ialah La
Geometrie, yang diterbitkan pada tahun 1637. Pengembangan kalkulus tidak
mungkin tercapai tanpa dia. Di dalamnya ia mencoba suatu penggabungan dari
geometri tua dan patut dimuliakan dengan aljabar yang masih belum berkembang
pada waktu itu. Bersama dengan seorang Perancis lainnya, Pierre Fermat (1601-1665),
ia diberi penghargaan dengan gabungan tersebut yang saat ini kita sebut sebagai
geometri analitik, atau geometri koordinat. Pengembangan lengkap kalkulus tidak
mungkin ada tanpa teorinya terlebih dahulu. Descartes benar-benar yakin bahwa
penemuan metode yang tepat adalah kunci dari meningkatnya pengetahuan.
Pengaruh
yang paling penting bagi Descartes pada saat itu adalah ahli matematika Issac
Beeckman. Issac Beeckman mendorong Descartes dengan memberikan sejumlah masalah
dan mendiskusikan masalah-masalah fisika dan matematika. Karya penting pertama
Descartes adalah "Regulae or Rules for the Direction of Mind"
yang ditulis pada tahun 1628, tetapi tidak diterbitkan hingga 1701. Karya ini
menunjukkan minat Descartes pada metode yang dia bagikan kepada beberapa
ilmuwan, ahli matematika dan filsuf abad 16 dan 17. Salah satu sumber metode
ini adalah matematika kuno. Tiga belas buku "Euclid's Elements"
merupakan contoh dari pengetahuan dan metode deduktif.
Pada
November 1628 Descartes berada di Paris, dimana dia menjadikan dirinya terkenal
saat bertentangan dengan Chandoux. Chandoux mengaku bahwa ilmu hanya bisa
didasarkan pada kemungkinan. Pandangan ini mencerminkan dominasi skeptisisme
lingkaran intelektual Renaissance di Perancis. (This view reflected the
dominance in French intellectual circles of Renaissance skepticism).
Pandangan skeptis ini berasal dari krisis religius di Eropa yang merupakan
akibat dari Reformasi Protestan dan diperparah dengan penerbitan "Sextus
Empiricus" dan pencerminan ketidaksetujuan antar penulis klasik.
Keadaan ini diperparah lagi dengan pertimbangan-pertimbangan tentang perbedaan
budaya antara budaya, Dunia Baru dan Eropa, dan oleh perdebatan tentang sistem
Copernican baru. Semuanya ini telah disusun sedemikian rupa oleh Montaigne
dalam karyanya, "Apology for Raymond Sebond", dan dikembangkan
oleh para pengikutnya. Descartes diserang dengan pandangan ini, hanya mengakui
bahwa kepastian bisa dijadikan sebagai dasar pengetahuan dan bahwa dia sendiri
memiliki suatu metode untuk mendapatkan kepastian itu.
Menurut
Rene Descartes, dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir
berdasarkan metode yang rasionalistis
untuk menganalisis gejala alam. Dengan pemikiran yang rasionalistis itu, orang
mampu menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna seperti ilmu dan
teknologi. Menurutnya
kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif maupun logika
induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa
pengetahuan yang dianggapnya benar. Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu berdasarkan rasio dan
pengalaman.
Kaum
rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri
kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang
dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan
pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia
memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia
hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip
itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat
kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru
sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran
rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam
alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum
rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat
penalaran rasional.
Adapun
teori berpikir yang rasionalistis menurut Rene Descartes yaitu sebagai berikut.
1. Dalam penyelesaian masalah tidak boleh menerima
begitu saja hal-hal yang belum diyakini kebenarannya.
2. Menganalisis dan mengklarifikasikan setiap
permasalahan melalui pengujian yang teliti ke dalam sebanyak mungkin bagian
yang diperlukan bagi pemecahan yang adekuat (memadai).
3. Menggunakan pikiran dengan cara diawali
dengan menganalisis sasaran-sasaran yang paling sederhana dan paling mudah
untuk diungkapkan.
4. Dalam setiap permasalahan dibuat uraian
yang sempurna serta dilakukan peninjauan kembali secara umum.
Dalam karyanya Discourse On Methoda,
dikemukakan 6 (enam) prinsip metodologi yaitu:
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan diawali dengan menyebutkan akal sehat
(common sense) yang pada umumnya
dimiliki oleh semua orang. Akal sehat menurut Descartes ada yang kurang, ada pula
yang lebih banyak memilikinya, namun yang terpenting adalah penerapannya dalam
aktivitas ilmiah.
Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam
aktivitas ilmiah maupun penelitian. Descartes mengajukan 4 (empat) langkah atau
aturan yang dapat mendukung metode yang dimaksud yaitu: (1) Jangan pernah
menerima baik apa saja sebagai yang benar, jika anda tidak mempunyai
pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya. Artinya, dengan cermat hindari
kesimpulan-kesimpulan dan pra konsepsi yang terburu-buru dan jangan memasukkan
apapun ke dalam pertimbangan anda lebih dari pada yang terpapar dengan begitu
jelas sehingga tidak perlu diragukan lagi. (2) Pecahkanlah setiap kesulitan
anda menjadi sebanyak mungkin bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk
mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik. (3) Arahkan pemikiran anda
secara jernih dan tertib, mulai dari objek yang paling sederhana dan paling
mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit, setahap demi setahap ke
pengetahuan yang paling kompleks, dan dengan mengandaikan sesuatu urutan bahkan
diantara objek yang sebelum itu tidak mempunyai ketertiban baru. (4) Buatlah
penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin, dan adakan tinjauan
ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti tidak suatu pun yang
ketinggalan. (5) Langkah yang digambarkan Descartes ini menggambarkan suatu
sikap skeptis metodis dalam memperoleh kebenaran yang pasti.
Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan
metode sebagai berikut: (1) Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri,
sambil berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak. (2)
Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling meyakinkan maupun
yang paling meragukan. (3) Berusaha lebih mengubah diri sendiri dari pada
merombak tatanan dunia.
Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acap kali terkecoh oleh indera.
Kita memang dapat membayangkan diri kita tidak berubah namun kita tidak dapat
membayangkan diri kita tidak bereksistensi, karena terbukti kita dapat
menyangsikan kebenaran pendapat lain. Oleh karena itu, kita dapat saja
meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin meragukan kita sendiri yang
sedang dalam keadaan ragu-ragu.
Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia yang terdiri atas dua
substansi yaitu RESCOGITANS (jiwa bernalar) dan RES-EXTENSA (jasmani yang
meluas). Tubuh (Res-Extensa) diibaratkan dengan mesin yang tentunya karena
ciptaan Tuhan, maka tertata lebih baik. Atas ketergantungan antara dua kodrat
ialah jiwa bernalar dan kodrat jasmani. Jiwa secara kodrat tidak mungkin mati
bersama dengan tubuh. Jiwa manusia itu abadi.
2.
Alfred Jules Ayer
Pemikiran Ayer termuat dalam bukunya yang berjudul Language, Truth and Logic.. Ajaran
terpenting yang terkait masalah metodologis adalah prinsip Verifikasi, hal ini
mengacu pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang Fisika Modern, atau
kritik terhadap metode Fisika Klasik Isaac Newton. Teori Relativitas Einstein
yang termahsur itu telah memperlihatkan secara jelas bahwa konsep ruang dan
waktu yang absolute dari Fisika Klasik yang diajukan oleh Newton, hanya
bermakna ketika seseorang dapat merinci apakah pelaksanaan terhadap percobaan
yang dilakukan itu dapat ditasdikan. Kritik yang dilancarkan Einstein terhadap
konsep Newton mengenai ruang dan waktu yang bersifat absolute itu telah
mengilhami tokoh-tokoh Positivisme Logik, seperti Moritz Schlik dan Rudolf
Carnapp yang pada dasarnya mempunyai latar belakang sains yang cukup. Kemudian
mereka menerapkan prinsip verifikasi yang semula dipergunakan dalam bidang
Fisika itu ke dalam teknik analisis bahasa.
Cara yang demikian
itu membawa perubahan yang cukup besar terhadap tolak ukur untuk menentukan
bermakna tidaknya suatu pernyataan. Sebab bagi Positivisme Logik sesati yang
tidak dapat diukur (ditasdikan) itu tidak mempunyai makna. Dengan demikian
makna suatu proposisi tergantung apakah kita dapat melakukan verifikasi
terhadap proposisi yang bersangkutan.
Kendati
tokoh Positivisme Logik secara umum menerima verifikasi itu sebagai tolak ukur untuk
menentukan konsep tentang makna, namun mereka membuat rincian yang cukup
berbeda mengenai prinsip verifikasi itu sendiri. Tokoh pemula Positivisme
Logik, seperti Moritz Schlik misalnya, menafsirkan verifikasi ini dalam
pengertian pengamatan empiris secara langsung bahwa hanya proposisi yang
mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek yang diamati (ini
dinamakan Protokol) itulah yang benar-benar mengandung makna.
Bagi
Schlik, jelas bahwa salah satu cara pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan
peristiwa. Peristiwa semacam itu terlihat dalam kalimat protokol dan inilah yang menjadi permulaan bagi ilmu.
Akan tetapi tafsiran Schlik mengenai prinsip verifikasi ini menimbulkan
perdebatan di antara kaum Positivisme Logik itu sendiri, terutama penganut
Positivisme Logik yang muncul kemudian. Sebab dengan meletakkan prinsip
verifikasi hanya pada peristiwa yang dapat dialami secara langsung, berati
Schlik telah menafikan bidang sejarah sebagai produk masa lampau dan prediksi
(ramalan) ilmiah sebagai produk masa yang akan datang.
Ayer, salah
seorang penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian, atau dapat dikatakan
sebagai generasi penerus tradisi Positivisme Logik, menyadari pula kelemahan
yang terkandung dalam prinsip pentasdikan yang diajukan Schlik itu. Oleh karena
itu Ayer memperluas prinsip verifikasi dalam pengertian yaitu “prinsip
verifikasi itu merupakan pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehingga
melalui kriteria tersebut dapat ditentukan apakah suatu kalimat mengandung
makna atau tidak. Melalui prinsip verifikasi ini tidak hanya kalimat yang
teruji secara empiris saja yang dianggap bermakna, tetapi juga kalimat yang
dapat dianalisis. Hal ini ditegaskan Ayer dalam pernyataan berikut: “Suatu cara
sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat
itu mengandung makna, jika dan hanya proposisi yang diungkapkan itu dapat
dianalisis atau dapat di verifikasi ini sehingga mengatasi kelemahan yang dapat
diverifikasi secara empiris.”
Penafsiran
yang diajukan Ayer terhadap prinsip verifikasi ini berhasil mengatasi kelemahan
yang terdapat dalam pandangan tokoh Positivisme Logic sebelumnya, yang hanya
menerima proposisi yang hanya dapat diverifikasi secara empiris. Hal mana
terlihat jelas dalam pandangan Moritz Schlik, yang mengaitkan prinsip verifikasi
itu dengan kalimat protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau
salahnya melalui pengamatan empiris secara langsung. Menurut pandangan Ayer,
prinsip verifikasi seperti yang diajukan Schlik itu merupakan verifiable dalam arti yang ketat (Ayer
menambahkan pengertian verifiable
dalam arti yang longgar atau lunak). Kedua macam pengertian verifiable ini dijelaskan oleh Ayer
sebagai berikut: “Verifiable dalam
arti yang ketat (strong verifiable)
yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung pengalaman secara
meyakinkan. Sedangkan verifiable
dalam arti yang lunak yaitu, jika suatu proposisi itu mengandung kemungkinan
bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan.”
Melalui
kedua macam pengertian verifiable ini
terutama verifiable dalam arti lunak
telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa
lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai pernyataan yang
mengandung makna. Namun Ayer menampik kehadiran metafisika dalam dunia ilmiah,
karena pernyataan-pernyataan metafisika (etika, theology) merupakan pernyataan
yang meaningless (tidak bermakna)
karena tidak dapat dilakukan verifikasi apapun.
3. Karl Raimund Popper
Karl
Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902. Ayahnya Dr. Simon
Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada
filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia
filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf
ternama.
Pada usia
16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan ia bosan
dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan
baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disana. Setelah perang dunia
I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk
menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti
Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan segala cara dalam
melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Di mana pada saat itu terjadi
pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari
teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan
yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan
dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran
dogmatis dan kritis.
Salah satu
peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper dalam filsafatnya
adalah dengan tumbangnya teori Newton dengan munculnya teori tentang gaya berat
dan kosmologi baru yang dikemukakan oleh Einstein. Di mana Popper terkesan
dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan
kalau gagal dalam tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap
kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori
kesayangannya. Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah
sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial
berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah
dapat meneguhkannya.
Asumsi
pokok teorinya Karl Raimund Popper adalah satu teori harus diuji dengan
menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan
Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas
positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak
lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan
ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu
pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang
dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia
berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat
menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah
mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan
tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme
logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak
mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan
yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari
premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan
atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya
agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus
dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan
lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang
berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta
keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau
pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai
landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa
dikatakan benar secara mutlak.
Menurut
Popper teori yang melatarbelakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik
permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas
masalah pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain
hanyalah pendugaan dan pengiraan dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga
perlu dilakukan pengujian yang secermat-cermatnya agar diketahuan
ketidakbenarannya. Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang
diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti
istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Adapun
prinsip falsifikasi yang menjadi pokok pemikiran Karl Raimund Popper terhadap
prinsip verifikasi yaitu:
1. Popper menolak anggapan umum bahwa suatu
teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi.
Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara), tidak ada
kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori
yang lebih tepat.
2. Cara kerja metode induksi yang secara
sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala yang sedang
diselediki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan adanya ciri-ciri umum yang
dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara
menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil
dibenarkan akan berubah menjadi hukum. Popper menolak cara kerja di atas,
terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan
bukti-bukti pengamatan empiris.
3. Popper menawarkan pemecahan baru dengan
mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat
dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa, hukum, ataukah teori
kebenarannya yang bersifat sementara, sejauh belum ditemukan
kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Bagi Popper, ilmu pengetahuan dapat
berkembang maju manakala suatu hipotesa telah dibuktikan salah, sehingga dapat
digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu salah satu
unsur hipotesa yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang
lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa
dapat melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin
diperkokoh (corroboration).
0 komentar:
Posting Komentar